Jualan Es Dawet Ayu 15 Tahun di Siantar, Bertahan di Tengah Terik dan Hujan
jualan es dawet ayu 15 tahun di siantar bertahan di tengah terik dan hujan
Pematangsiantar, MISTAR.ID
Fidin Hidayat (33) atau akrab disapa Pak Fidin, dengan tekun menyajikan Es Dawet Ayu dagangannya dengan gerobak sederhana di Jalan Melanthon Siregar, Pematangsiantar, tak jauh dari simpang Jalan Bahkora.
Perjalanan Fidin sebagai penjual es dawet dimulai pada tahun 2010. Saat itu, ia ikut merantau bersama pengusaha dagangan tersebut dari Jawa ke Pematangsiantar.
“Awalnya kami berjumlah lima belas orang yang datang ke sini untuk berjualan,” ujarnya saat ditemui di lokasi jualannya, Sabtu (23/11/24) siang.
Baca juga:Es Dawet Asal Jepara Makin Digemari di Medan
Mereka mengambil dagangan dari pemilik usaha dan setiap hari menjajakan kesegaran es dawet ke berbagai lokasi di Kota Pematangsiantar.
“Beberapa teman saya sudah pulang ke Jawa, ada juga yang sudah buka usaha sendiri,” sambung Fidin mengenang.
Namun, ia memilih tetap berjualan es dawet, terutama akibat pandemi Covid-19 membuat rencananya membuka usaha sendiri tertunda.
Selama merantau, Fidin akhirnya menemukan cinta di Tano Habonaron do Bona. Ia kemudian menikah dengan wanita pujaan hatinya itu hingga kini sudah dikaruniai dua orang anak.
Baca juga:Sempat Terpuruk Akibat Corona, Pengusaha Ini Kembali Bangkit Jualan Es Dawet
Meski jauh dari kampung halaman, keluarga kecilnya menjadi alasan utama Fidin bertahan dan terus berjuang.
Selama 15 tahun berjualan, Fidin telah melewati banyak tantangan. Salah satu kunci keberhasilannya dalam bertahan adalah konsistensi menjaga mutu produk.
“Kami pakai gula merah kelapa asli dari Jawa, bukan gula aren lokal. Rasa lebih enak dan lebih pas dicampur dengan santan,” jelasnya.
Selain itu, lokasi strategis di Jalan Melanthon Siregar juga menjadi faktor penting. “Ini jalan besar, banyak orang lewat, terutama yang mau ke Tanah Jawa,” kata Pak Fidin.
Baca juga:Berawal dari Facebook, Pelajar SMP Diperkosa Tiga Orang Pria
Pelanggannya pun terdiri dari kalangan pekerja, pelajar, hingga warga sekitar tempat dia berjualan.
Dalam sehari, bila ramai ia bisa menjual 200 hingga 300 porsi es dawet. “Kalau ramai, bisa laku semua. Kalau tidak habis, tidak rugi karena toke (pemilik) hanya menghitung jumlah gula yang dipakai,” jelasnya.
Pendapatannya pun bervariasi tergantung cuaca. Fidin menjual dagangannya dengan harga Rp7.000 per porsi dan menerima upah atau komisi sebesar 10 persen dari hasil penjualan tersebut.
Selain itu, ia mendapatkan uang makan harian sebesar Rp20.000 dan gaji tambahan dari pekerjaan membuat dawet dan santan, yang dibayarkan setiap tahun sebagai THR saat Lebaran.
Baca juga:Syukuran HUT Pujakesuma Dairi, Bupati Eddy Berutu: Keberagaman Mempererat Persaudaraan
Di balik kesederhanaannya, Pak Fidin memiliki filosofi hidup yang kuat. Ia berpesan kepada siapa saja yang memiliki usaha atau pekerjaan untuk tetap bersyukur, apapun keadaannya.
“Jangan buru-buru, kerjakan yang ada dulu. Banyak yang ingin kerja tapi belum ada kesempatan,” tuturnya.
Ia juga menekankan pentingnya tidak menyerah dalam menghadapi kesulitan. “Musim hujan, cuaca buruk seperti saat ini, itu biasa. Yang penting jaga mutu produk dan terus berusaha. Kalau kerja keras dan sabar, hasil baik akan datang,” tambahnya.
Fidin dengan bangga menyebut dirinya sebagai bagian dari kelompok pelopor es dawet asli Jawa di Pematangsiantar. Rekan-rekan kerjanya tersebar di beberapa lokasi strategis, seperti Lapangan Haji Adam Malik, Brimob di Jalan Ahmad Yani, Pasar Parluasan dan Pasar Horas.
“Es dawet ini bukan cuma jualan, tapi cara kami memperkenalkan tradisi Jawa kepada masyarakat Siantar,” ujarnya.
Bagi Fidin, es dawetnya bukan hanya sekedar pelepas dahaga, tetapi juga simbol ketekunan dan semangat hidup serta pelestarian tradisi. (hany/hm17)
PREVIOUS ARTICLE
Bawaslu Sibolga Ingatkan Paslon Tak Kampanye dan Politik Uang